Bahasa agama muncul sebagai artikulasi pemahaman manusia terhadap keberadaan Tuhan dan pesan-pesan keagamaan yang disampaikan-Nya dalam kitab suci. Keterbatasan manusia di satu sisi dan keterbatasan Tuhan di sisi lainya bukan berarti tertutupnya kemungkinan upaya interpretative itu, karena jika tidak demikian agama akan selamanya menjadi sesuatu yang asing bagi manusia.
Keterbatasan manusia dalam menangkap keberadaan dan kehadiran Tuhan, surga, neraka, kehidupan setelah mati, dan hal-hal lain yang sifatnya metaempiris dan berbeda dari keberadaan alam dunia, manusia dan bahkan realitas manapun, difahami manusia secara metaforis. Kenyataan ini telah menempatkan metafor bahasa agama menjadi aspek penting dalam dinamika keberagaman manusia, lebih-lebih hal-hal yang diungkapkan secara metaforis tersebut berkaitan langsung dengan soal keimanan yang sangat menentukan seberapa dalam seseorang meneguhi agama.
Persoalan adalah apakah bahasa biasa cukup memadai untuk mengungkapkan hal-hal keagamaan yang sifatnya metaempiris itu. Bagaimana mungkin bahasa yang berada dalam kejadian langsung dan nyata manusia dapat menjangkau sesuatu di luar kejadian, sesuatu yang bagaimana pun tak terbahasakan?
Tanggapan terhadap masalah ini dijelaskan dalam buku ini melalui pandangan dari aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat analitis.