Bahasa dalam dunia ilmiah memiliki karakteristik yang khas, yakni sarana untuk mengungkapkan relitas yang telah teruji, baik secara akal maupun berdasarkan pengalaman, eksperimen. Bahasa ilmiah dituntut kejernihan dan kelogisannya dalam mengungkapkan realitas dengan berbagai metodologi yang dipersyaratkan. Bahasa ilmiah dituntut kejernihan dan kelogisannya dalam mengungkapkan realitas dengan berbagai metodologi yang dipersyaratkan. Bahasa ilmiah dalam pemikiran para ilmuwan memiliki spectrum yang kaya dengan bobot rasionalitas yang mampu menjangkau hasrat ingin tahu manusia atas objek yang menjadi focus perhatiannya. Komunitas ilmiah menentukan aturan main yang diterima semua pihak yang terlibat sebagai anggotanya untuk menjalani riset dengan berbagai persyaratan metodologis, termasuk bahasa ilmiah yang mengandung nilai-nilai epistemologis, terutama sesuai dengan teori kebenaran yang dianut. Namun hal yang sering terjadi dalam dunia ilmiah adalah perbedaan yang dipicu oleh penekanan pada logika ilmiah di satu pihak dengan penekanan pada komunikasi ilmiah di pihak lain.
Perbedaan cara pandang dalam pengungkapan bahasa ilmiah ini terjadi karena perbedaan dasar epistimologis. Hal ini kadang menimbulkan beberapa kubu yang berbeda. Kubu pertama beranggapan bahwa nahasa ilmiah harus berdasarkan pada aturan logis yang ketat agar tidak menimbulkan multitafsir. Kubu kedua beranggapan bahwa bahasa ilmiah harus bersifat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh orang lain. Kubu ketiga menggarisbawahi kubu pertama dan kedua dalam arti logis namun komunikatif. Lalu, dimanakah posisi C.S. Peirce tentang bahasa ilmiah jika dilihat dari tiga titik pandang tersebut? Hal inilah yang ingin diungkap dalam buku ini.